~ Me, My Vincent and Our Journey ~

“ Aku capek, Vi”

“Rasa-rasanya setiap orang akan lebih bahagia tanpa aku.”

“Tanpa kehadiranku di sisi mereka, tanpa ada aku yang menyusahkan mereka.”

“Aku capek karna selalu membuat susah guruku.”

“Aku capek menyakiti orang-orang yang kusayangi, menyakiti kamu, orangtuaku, sahabat-sahabatku”

Dan kau hanya tersenyum mendengarkan penuh perhatian.

Vincentku yang tersayang, yang kusayangi melebihi rasa cintaku pada diriku sendiri.

Vincent yang bagiku adalah mentari yang selalu menemani perjalanan si bintang.

Vincent yang selalu memahamiku, membantuku meski ia sendiri lelah.

Vincentku yang berharga, yang tanpanya aku hilang esensi seperti uap air, getasnya kayu , mengering dan terlupakan.

Abel sepupuku tersayang, begitu kau selalu memanggilku.

**

“Aku ingin pergi, Vi.”

“Pergi jauh dari mereka semua, dari orang-orang yang selama ini kusayangi, tapi kemudian kusakiti dan mereka pun menyakiti aku.”

“Setengah diriku ingin melarikan diri dan setengahnya lagi ingin bertarung hingga usai.”

“Aku capek menyayangi orang-orang yang kupercaya kemudian tega menusukku.”

“Aku capek menyayangi orang-orang yang salah.”

“Aku capek kehilangan. Sudah cukup semua ini bagiku.”

Dan kau pun masih mendengarkan dengan penuh pengertian.

Vincentku, adalah satu-satunya orang yang mempercayaiku ketika satu bumi menafikan kata-kataku.

Kau-lah satu-satunya yang berdiri membelaku ketika semua orang mempertanyakan integritasku sebagai hamba.

Kau-lah satu-satunya yang yakin bahwa aku baik-baik saja dan selalu akan begitu.

Kau-lah mentari yang tak pernah lelah menyinari ketika si bintang mulai redup.

Abel sepupuku tersayang, begitu kau memanggilku.

***

“Aku lelah.”

“Aku berharap, suatu saat nanti akan muncul kebahagiaan bagi semua orang.”

“Dengan begitu aku akan tenang meninggalkan semuanya.”

“Suatu saat aku akan pergi dan tak akan pernah kembali lagi ke sini, ke tempat ini.”

Kau masih mendengarkanku dengan penuh kesabaran.

Di meja makan saksi bisu percakapan ini.

Ditemani kombinasi penganan kecil yang hanya bisa ditemukan di rumahmu.

Ditemani bintang gemintang kesayanganku.

Ditemani udara bercampur bau laut kesukaan kita.

Ditemani senyap kala yang lain tenggelam dalam lelap.

Abel sepupuku tersayang, begitu kau memanggilku.

****

“Abel, sepupuku tersayang”

“Biarkanlah mereka bicara, biarkanlah mereka menduga, biarkanlah mereka berprasangka dan biarkanlah mereka menganalisa.”

“Bagiku kau adalah kau. Kau yang berusaha teguh dalam perjalanan ini.”

“Tak pernah terpikir olehku bahwa kau akan melarikan diri dari pertarungan ini. Sedikitpun aku tak pernah meragukanmu dan begitulah dirimu.”

“Abel, sepupuku tersayang.”

“Apalah artinya perbedaan diantara kita?? apalah artinya kau A dan aku B??
apalah artinya bila kau ‘fight’ dan aku ‘peace’??”

“Bila yang terpenting adalah kebersamaan ini. Bila yang terpenting bagiku adalah keberadaanmu dan begitu pula sebaliknya.”

“Abel, sepupuku tersayang.”

“Bukan aku yang “menyeretmu” ke dalam jalan ini. Tapi pilihanmulah. Pilihanmu saat itu yang membawamu hingga pada masa ini. Pilihan yang kau ambil setelah berjalan terseok-seok, hilang arah dan kendali. Pilihan yang kau ambil dengan sadar. Sadar akan konsekuensinya kini.”

“Abel, sepupuku tersayang.”

“Aku tahu betapa bencinya kau pada yang telah berlalu itu. Betapa gemerlapnya hidup di zaman itu. Aku tahu kau tak pernah ingin kembali lagi pada masa itu. Meski untuk berada di jalanmu yang sekarang kau harus mengorbankan banyak hal. Begitu banyak, hingga kau tak bisa menghitungnya.“

“Abel, sepupuku tersayang.”

“Mengapa kau berpikir akan memulai perjalananmu sendiri??
Mengapa kau harus meninggalkan semua??
Mengapa kau mau menjalani itu semua dalam sepi??”

“Telah lupakah kau??
Bahwa aku lah yang akan menemani perjalananmu.
Lupakah kau pada Vincent-mu ini??
Lupakah kau betapa ku menyayangimu??
Lupakah??”

“Untuk apa menyiksa dirimu sendiri?? Aku mengenalmu. Jauh lebih mengenalmu daripada semua orang-orang itu. Untuk apa menyakiti dirimu sendiri?? Kau toh tak akan pernah bisa hidup tanpa orang-orang yang kau sayangi.”

“Marilah kita mulai bersama perjalanan ini. Perjalanan yang akan membuat kita tertegun dan kemudian tertawa kembali. Takjub akan rencana Illahi Rabbi.”

Dan aku pun tersenyum. Senyum paling indah bagi anugerah Allah di hadapanku.

*adapted from real story

catatan kecil ini ditulis dan diiringi dengan air mata. persembahan bagi orang-orang hebat di sekeliling kita karna setiap orang pasti memiliki orang-orang yang berpengaruh bagi kehidupannya. Orang-orang hebat yang selalu mendampingi perjalanan mengubah dunia tempat kita berdiri. Perjalanan yang penuh onak dan duri demi tegaknya peradaban kedua,
Khilafah alaa minhajin nubuwwah..

warmest regards,

bella burhani
[ID YM: viva_rosetti]
https://anabelrosetti.wordpress.com/
Halqoh Online on facebook
Halqoh Online

Sultan Muzaffar Saifuddin Qutuz, Pahlawan Perang Ain Jalut (25 Ramadhan 658H / 3 September 1260M)

ain_jalut
Pertempuran Ain Jalut (atau Ayn Jalut dalam bahasa Arab : عين جالوت yang artinya Mata Jalut) terjadi pada tanggal 3 September 1260 di Palestina antara Bani Mameluk (Mesir) yang dipimpin oleh Qutuz dan Baibars berhadapan dengan tentara Mongol pimpinan Kitbuqa.

Banyak ahli sejarah menganggap pertempuran ini termasuk salah satu pertempuran yang penting dalam sejarah penaklukan bangsa Mongol di Asia Tengah dimana mereka untuk pertama kalinya mengalami kekalahan telak dan tidak mampu membalasnya dikemudian hari seperti yang selama ini mereka lakukan jika mengalami kekalahan.

Di 10 hari yang terakhir dalam bulan Ramadhan, kita sering diingatkan dengan satu malam, yaitu malam yang menyamai 1000 bulan. Pastinya akan muncul pemburu-pemburu Lailatul Qadar di 10 malam yang terkahir ini. Barangsiapa beribadah pada malam tersebut, maka akan tercatat amalannya seperti dia membuat amalan selama 1000 bulan, Maha Agung dan Maha Kasihnya Allah yang tiada tuhan selainnya menganugerahkan hadiah luar biasa untuk diraih oleh umat Muhammad. Semoga kita semua melipatgandakan amalan kita di penghujung Ramadhan ini dan seterusnya pada bulan–bulan yang lain. Marilah kita bersama-sama mengingat kembali sejarah generasi terdahulu dimana hidup mereka penuh dengan amalan kebaikan dan tunduk patuh kepada perintah Allah. Mereka melakukan kewajiban jihad, sebagaimana mereka melaksanakan kewajiban berpuasa di bulan Ramadhan.

Apa yang ingin saya share di sini adalah tentang satu peristiwa yang agung dalam peradaban Islam. Peristiwa di mana umat Islam bersatu menentang tentara Tartar dari Mongolia dan mengalahkan mereka. Kebanyakan ahli sejarah berpendapat bahawa perang ini merupakan satu titik perubahan (turning point) bagi kebiadaban dan kerakusan tentara Mongol yang menghabisi segala apa yang mereka lalui dari timur ke barat dan akhirnya kemarahan mereka ditamatkan oleh tentara-tentara Allah di Ain Jalut.

Hulagu Khan, pewaris tahta Gengis Khantentera_mongol
Kekaisaran Mongol dibentuk oleh Genghis Khan pada abad ke-13 M. Genghis Khan bercita-cita untuk meluaskan kekaisarannya dari timur ke barat dan mengahancurkan apa saja yang menghalangi mereka dari mencapai cita- cita tersebut. Invansi mereka bermula dengan menaklukkan beberapa negara di sekitar Mongolia dan mereka terus “merangsek” ke timur yang dikuasai oleh umat Islam. Sayangnya cita- cita Genghis Khan untuk melihat kekaisarannya terbentang luas dari timur ke barat tidak pernah tercapai karna nyawanya telah dicabut oleh Allah, setelah beliau jatuh dari kuda tunggangannya. Namun begitu, pada 1251M, Hulagu Khan cucu Genghis Khan setelah dilantik menjadi pewaris tahta kekaisaran Mongol, berjanji untuk meneruskan cita-cita kakeknya untuk menguasai seluruh penjuru dunia.

Untuk merealisasikan impian ini, Hulagu Khan mengumpul kekuatan tentaranya di Asia Tengah selama 2 tahun sebelum melancarkan serangan ke atas umat Islam yang bernaung di bawah keKhilafahan Abasiyyah. Pada tahun 1253M, Hulagu Khan mula melakukan ekspedisi penaklukan ke atas wilayah Khilafah Abasiyyah. Tentara yang telah menaklukan 200 kota dalam masa hanya 2 tahun ini dan mampu bergerak jauh dalam satu hari serta memiliki peralatan peperangan yang canggih, hasil invansi panglima perang mereka, akhirnya telah berjaya menusuk masuk ke jantung Khilafah Abasiyyah. Akhirnya pada tahun 1258M, Baghdad, yaitu ibu kota Khilafah Abasiyyah jatuh ke tangan tentera Tartar.

Kejatuhan Baghdad & Surat Hulagu Khan
Kejatuhan Baghdad merupakan satu peristiwa yang sangat tragis dalam sejarah umat manusia. Setelah berjaya mengalahkan tentara-tentara Khilafah, tentera Monggol dengan biadabnya membunuh 1.8 juta kaum muslimin yang berada di kota Baghdad. Juga tidak ketinggalan, Khalifah umat Islam turut dibunuh dengan kejam. Selama 3 tahun setengah, umat Islam hidup tanpa Khalifah. Ada ahli sejarah menukilkan bagaimana si Hulagu Khan ini melakukan pembunuhan terhadap khalifah dengan cara memasukkan khalifah di dalam gulungan permaidani dan memijak dengan kudanya. Tidak cukup dengan itu, tentera Tartar yang biadab ini memusnahkan banyak kitab-kitab karangan cendiakawan-cendiakawan di Baghdad dengan mencampakkannya ke dalam laut sehingga air laut menjadi kehitaman akibat banyaknya kitab-kitab tersebut.muzaffar_qutuz

Hulagu Khan tidak berhenti di sini sahaja. Setelah berjaya menakluki Baghdad, dia mengutus delegasi Mongol ke Mamluk Mesir, yaitu Sultan Muzaffar Saifuddin Qutuz. Delegasi ini datang dengan membawa surat dari Hulagu Khan. Surat Hulagu Khan ini berbunyi :

Dari Raja Segala Raja di Timur dan Di Barat, Khan Yang Agung Kepada Qutuz si Mamluk yang lari dari pedang-pedang kami!

Kamu seharusnya berfikir mengenai apa yang telah terjadi ke atas negara-negara yang lain dan menyerah kepada kami. Kamu pun mendapat khabar berita bagaimana kami telah menawan kekaisaran yang begitu besar, menyucikan bumi ini dari kerusakan yang mencacatkannya. Kami telah menawan kawasan yang luas dan membunuh semua manusia dengan kejam. Kamu tidak akan terlepas dari kerakusan dan kekejaman tentera kami!

Ke mana lagi kamu ingin lari? Jalan mana lagi yang kamu akan gunakan untuk melepaskan diri dari kami? Kuda-kuda kami berlari kencang, anak-anak panah kami tajam, pedang-pedang kami bagaikan guruh yang menakutkan, hati-hati kami keras bagaikan gunung ganang, laskar-laskar kami banyak tak terbilang. Benteng-benteng kukuh tidak akan dapat menghalang kami, senjata-senjata tidak akan dapat membendung kami. Do’a kamu tidak akan membawa apa-apa bagi atas kami. Kesedihan dan ratapan tidak kami pedulikan. Hanya mereka yang merayu untuk perlindungan kami akan selamat.

Bersegeralah dalam membalas surat ini sebelum api peperangan bermula. Jika kamu melawan, maka pasti kamu akan menderita dan tersiksa dengan kehancuran yang dahsyat. Kami akan menghancurkan masjid-masjid kamu dan membuktikan kelemahan Tuhan kamu. Kemudian kami akan membunuh anak-anak kamu dan orang-orang tua di kalangan kamu.

Kini, hanya kamulah satu-satunya musuh yang perlu kami hadapi.

Setelah menerima surat tersebut, Saifuddin Qutuz tidak gentar sedikitpun. Beliau dengan berani membunuh delegasi Mongol dan kepala mereka di gantung di pintu kota Mesir. (catatan : Islam tidak membenarkan membunuh delegasi asing yang diutuskan. Kebanyakan ahli sejarah menyatakan bahawa tujuan kedatangan delegasi tersebut bukanlah sekadar mengantar surat Hulagu Khan semata- mata, tetapi telah bertindak sebagai mata- mata tentera Tartar).

Marahnya Tentara – Tentara Allahain_Jalut_map
Saifuddin Qutuz mula mengumpulkan tentaranya dan akhirnya tentaranya terkumpul sebanyak 20 000 orang tentera. Mereka telah sepakat dan memutuskan untuk meyerang tentera Mongol di luar kota Mesir yaitu melakukan tindakan ofensif terhadap tentara Mongol. Tentara-tentara Allah ini mula bergerak ke luar kota Mesir menuju ke arah Palestin dan bertemu dengan tentara Tartar yang diketuai komandannya, Kitbuqa di Ain Jalut. Maka terjadilah peperangan yang amat dahsyat diantara kedua belah pihak. DI tengah peperangan yang sedang sengit, Saifuddin Qutuz membuka topeng besinya dan menunggang kuda menuju ke tengah medan pertempuran dan memberi motivasi kepada tentaranya agar berjuang habis-habisan dan memburu syurga Allah. Beliau bertakbir beberapa kali dan terus maju ketengah- tengah musuh.

Semasa perang Ain Jalut, isteri Sultan Saifudin Qutuz, iaitu Jullanar turut menyertainya. Ketika Jullanar sedang sakit, Saifudin Qutuz memapahnya dan berkata : ”Wahai Kekasihku”. Jullanar membalas dengan berkata : ”Wahai Saifuddin, lebihlah kasih kamu terhadap Islam”. Setelah itu, Saifuddin Qutuz terus kembali ke medan tempur dan akhirnya pada hari Jumaat, 25 Ramadhan 658H, bersamaan dengan 3 September 1260M tentara-tentara Allah ini telah memperoleh kemenangan ke atas tentera Tartar di Ain Jalut. Tentara Tartar yang tidak pernah terkalahkan ini (sekiranya kalah dibeberapa medan perang, mereka akan mampu menebus balik kekalahan mereka), akhirnya tersungkur dihadapan mata pedang kaum muslimin dan tidak mampu menebus kembali kekalahan mereka di Ain Jalut.

Penutup
Apa yang ingin saya share di sini bukanlah hanya peristiwa sejarah semata. Tetapi yang lebih utama iyalah supaya kita semua mengambil ibrah (pengajaran) dari peristiwa yang telah terjadi. Sekiranya Sultan Muzaffar Saifuddin Qutuz bersama-sama dengan tentaranya sejumlah 20 000 orang berjuang melawan tentara Mongol yang belum pernah terkalahkan di bulan Ramadhan, sepatutnya itu sudah cukup memberi isyarat kepada kita bahawa bulan Ramadhan bukanlah bulan yang hanya semata-mata bulan ruhiyyah, tetapi juga merupakan bulan siyasah (politik). Ketaatan dan kepatuhan kita menunaikan ibadah puasa sepatutnya sama dengan kepada ketaatan dan kepatuhan kita untuk melaksanakan seluruh ajaran Islam, termasuklah jihad dalam menghadapi musuh- musuh Allah.

Dalam menghadapi musuh- musuh Allah ini, sudah pastinya kita memerlukan satu kekuatan yang terinetgral dari segenap aspek dan satu perpaduan yang amat utuh yang lahir dari aqidah yang satu yaitu Islam. Umat Islam yang kira-kira sebanyak 1.6 milyar merupakan sumber tenaga manusia yang sangat besar. Seandainya sumber-sumber ini disatukan dan difokuskan oleh seorang Khalifah, pastinya akan menghasilkan satu kekuatan besar dan mengembalikan peradaban Islam yang sangat agung. Ini bukanlah dongeng dan omong kosong semata, tetapi sejarah telah membuktikan hasilnya. Umat yang satu ini, pastinya akan mampu memakmurkan muka bumi ini jika Islam diterapkan ditengah-tengah kehidupan mereka. Islam dijadikan ideologi dan menjadi penggerak kepada seluruh tindak tanduk umat yang satu ini dan bukannya dengan ideologi selainnya.

~ f.a.i.t.h. – f.i.g.h.t. = m.i.r.a.c.l.e. ~
>> keimanan ditambah perjuangan & perlawanan maka akan menghasilkan, KEAJAIBAN..
>> menjemput janji Allah dan bisyarah Rasulullah, masih ada kota Roma yang menanti kita semua, sodara-sodara. Allahu akbar !!

Note: Jullanar istri tercinta sultan Muffazar Saifudin Qutuz meraih syahid terlebih dahulu karna tiba-tiba menerobos situasi perang dan menjadi perisai hidup bagi suaminya. semoga ini menjadi panutan bagi kita semua yang telah menjadi istri atau pun bagi para calon istri. Allahu akbar !!

*adapted from http://www.mykhilafah.com

ARAB SAUDI DAN PENGKHIANATAN KELUARGA SA‘UD

George Bush dan Raja Abdullah (Saud)
Arab Saudi merupakan salah satu negara di Dunia Islam yang cukup strategis, terutama karena di negara tersebut terdapat Baitullah di Makkah yang menjadi pusat ibadah haji kaum Muslim seluruh dunia. Apalagi perjalanan Islam tidak bisa dilepaskan dari wilayah Arab Saudi. Sebab, di sanalah Rasulullah saw. lahir dan Islam bermula hingga menjadi peradaban besar dunia. Arab Saudi juga sering menjadi rujukan dalam dunia pendidikan Islam karena di negara tersebut terdapat beberapa universitas seperti King Abdul Aziz di Jeddah dan Ummul Qura di Makkah yang menjadi tempat belajar banyak pelajar Islam dari seluruh dunia. Dari negara ini, muncul Gerakan Wahabi yang banyak membawa pengaruh di Dunia Islam. Lebih jauh, Saudi sering dianggap merupakan representasi negara Islam yang berdasarkan al-Quran dan Sunnah.

Namun demikian, di sisi lain, Saudi juga merupakan negara yang paling banyak dikritik di Dunia Islam. Sejak awal pembentukannya, negara ini dianggap memberontak terhadap Khilafah Utsmaniyah. Sejarahnya juga penuh dengan pertumpahan darah lawan-lawan politiknya. Banyak pihak juga menyoroti tindakan keras yang dilakukan oleh rezim ini terhadap pihak-pihak yang menentang kekuasaan Keluarga Saud. Tidak hanya itu, Saudi juga dikecam karena menyediakan daerahnya untuk menjadi pangkalan militer AS. Kehidupan keluarga kerajaan yang penuh kemewahan juga banyak menjadi sorotan. Secara ekonomi, Saudi juga menjadi incaran negara-negara besar di dunia karena faktor kekayaan minyaknya.

MEMBERONTAK KEPADA NEGARA ISLAM, BERSEKUTU DENGAN INGGRIS

Secara resmi, negara ini memperingati kemerdekaannya pada tanggal 23 September. Pada saat itulah, tahun 1932, Abdul Aziz—dikenal juga dengan sebutan Ibnu Sa‘ud—memproklamirkan berdirinya Kerajaan Saudi Arabia (al-Mamlakah al-‘Arabiyah as-Su‘udiyah). Abdul Aziz pada saat itu berhasil menyatukan dinastinya; menguasai Riyad, Nejed, Ha-a, Asir, dan Hijaz. Abdul Aziz juga berhasil mempolitisasi pemahaman Wahabi untuk mendukung kekuatan politiknya. Sejak awal, Dinasti Sa‘ud secara terbuka telah mengumumkan dukungannya dan mengadopsi penuh ide Wahabi yang dicetuskan oleh Syaikh Muhammad bin Abdul Wahhab yang kemudian dikenal dengan Gerakan Wahabi. Dukungan ini kemudian menjadi kekuatan baru bagi Dinasti Sa‘ud untuk melakukan perlawanan terhadap Khilafah Islamiyah.

Hanya saja, keberhasilan Dinasti Sa‘ud ini tidak lepas dari bantuan Inggris. Mereka bekerjasama untuk memerangi pemerintahan Khilafah Islamiyah. Sekitar tahun 1792-1810, dengan bantuan Inggris mereka berhasil menguasai beberapa wilayah di Damaskus. Hal ini membuat Khilafah Islamiyah harus mengirim pasukannya untuk memadamkan pemberontakan ini. Fase pertama, pemberontakan Dinasti Saud berhasil diredam setelah pasukan Khilafah Islamiyah berhasil merebut kota ad-Diriyah.

Namun kemudian, beberapa tahun kemudian, Dinasti Sa‘ud, di bawah pimpinan Abdul Aziz bin Abdurrahman, berupaya membangun kembali kekuataannya. Apalagi pada saat itu, Daulah Khilafah Islamiyah semakin melemah. Pada tahun 1902, Abdul Aziz menyerang dan merebut kota Riyadh dengan membunuh walinya (Gubernur Khilafah ar-Rasyid). Pasukan Aziz terus melakukan penaklukan dan membunuh pendukung Khilafah Utsmaniyah dengan bantuan Inggris.

Salah satu sahabat dekat Abdul Aziz Abdurrahman adalah Harry St. John Pilby, yang merupakan agen Inggris. Philby menjuluki Abdul Aziz bin Abdurrahman sebagai “Seorang Arab yang Beruntung”, sementara Abdul Aziz menjulukinya dengan “Bintang Baru dalam Cakrawala Arab”. Philby adalah orang Inggris yang ahli Arab yang telah lama menjalin hubungan baik dengan Keluarga Sa‘ud sejak misi pertamanya ke Nejed pada tahun 1917. Pada tahun 1926, Philby tinggal di Jeddah. Dikabarkan kemudian, Philby masuk Islam dan menjadi anggota dewan penasihat pribadi Raja pada tahun 1930. (Lihat: Goerge Lenczowsky, Timur Tengah di Tengah Kencah Dunia, hlm. 351).

Kerjasama Dinasti Sa‘ud dengan Inggris tampak dalam perjanjian umum Inggris-Arab Saudi yang ditandatangani di Jeddah (20 Mei 1927). Perjanjian itu, yang dirundingkan oleh Clayton, mempertegas pengakuan Inggris atas ‘kemerdekaan lengkap dan mutlak’ Ibnu Sa‘ud, hubungan non-agresi dan bersahabat, pengakuan Ibnu Sa‘ud atas kedudukan Inggris di Bahrain dan di keemiran Teluk, serta kerjasama dalam menghentikan perdagangan budak (ibidem, hlm. 351). Dengan perlindungan Inggris ini, Abdul Aziz (yang dikenal dengan Ibnu Sa‘ud) merasa aman dari berbagai rongrongan.

Pada tahun 1916, Abdul Aziz menerima 1300 senjata dan 20.000 keping emas dari Inggris. Mereka juga berunding untuk menentukan perbatasan negerinya, yang ditentukan oleh Percy Cox, utusan Inggris. Percy Cox mengambil pinsl dan kertas kemudian menentukan (baca: memecah-belah) perbatasan negeri tersebut. Tidak hanya itu, Inggris juga membantu Ibnu Sa‘ud saat terjadi perlawanan dari Duwaish (salah satu suku Nejed). Suku ini menyalahkan Ibnu Saud yang dianggap terlalu menerima inovasi Barat. Sekitar tahun 1927-1928, Angkatan Udara Inggris dan Pasukan Ibnu Sa‘ud mengebom suku tersebut. Mengingat kerjasama mereka yang sangat erat, Inggris memberi gelar kebangsawanan ‘sir’ untuk Abdul Aziz bin Abdurrahman.

PERSAHABATAN DENGAN AS

Persahabatan Saudi dengan AS diawali dengan ditemukannya ladang minyak di negara itu. Pada 29 Mei 1933, Standart Oil Company dari California memperoleh konsesi selama 60 tahun. Perusahaan ini kemudian berubah nama menjadi Arabian Oil Company pada tahun 1934. Pada mulanya, pemerintah AS tidak begitu peduli dengan Saudi. Namun, setelah melihat potensi besar minyak negara tersebut, AS dengan agresif berusaha merangkul Saudi. Pada tahun 1944, Deplu AS menggambarkan daerah tersebut sebagai, “sumber yang menakjubkan dari kekuatan strategi dan hadiah material yang terbesar dalam sejarah dunia (a stupendous source of strategic power and the greatest material prize in the world’s history).”

Untuk kepentingan minyak, secara khusus wakil perusahaan Aramco, James A. Moffet, menjumpai Presiden Roosevelt (April 1941) untuk mendorong pemerintah AS memberikan pinjaman utang kepada Saudi. Utang inilah yang kemudian semakin menjerat negara tersebut menjadi ‘budak’ AS. Pada tahun 1946, Bank Ekspor-Impor AS memberikan pinjaman kepada Saudi sebesar $10 juta dolar. Tidak hanya itu, AS juga terlibat langsung dalam ‘membangun’ Saudi menjadi negara modern, antara lain dengan memberikan pinjaman sebesar $100 juta dolar untuk pembangunan jalan kereta api yang menghubungkan ibukota dengan pantai timur dan barat. Tentu saja, utang ini kemudian semakin menjerat Saudi.

Konsesi lain dari persahabatan Saudi-AS ini adalah penggunaan pangkalan udara selama tiga tahun oleh AS pada tahun 1943 yang hingga saat ini terus dilanjutkan. Pangkalan Udara Dhahran menjadi pangkalan militer AS yang paling besar dan lengkap di Timur Tengah. Hingga saat ini, pangkalan ini menjadi basis strategis AS, terutama saat menyerang negeri Muslim Irak dalam Perang Teluk II. Penguasa keluarga Kerajaan Saudi dengan ‘sukarela’ membiarkan wilayahnya dijadikan basis AS untuk membunuhi sesama saudara Muslim. AS pun kemudian sangat senang dengan kondisi ini.

Pada tahun 1947, saat Putra Mahkota Emir Saud berkunjung ke AS, dia menerima penghargaan Legion of Merit atas jasanya kepada sekutu selama perang. Hingga saat ini, persahabatan AS dan Saudi terus berlanjut walaupun harus menyerahkan loyalitasnya kepada AS dan membunuh sesama Muslim.

NEGARA ISLAM SEMU

Salah satu kehebatan negara Saudi selama ini adalah keberhasilannya dalam menipu kaum Muslim, seakan-akan negaranya merupakan cerminan dari negara Islam yang menerapkan al-Quran dan Sunnah. Keluarga Kerajaan juga menampilkan diri mereka sebagai pelayan umat hanya karena di negeri mereka ada Makkah dan Madinah yang banyak dikunjungi oleh kaum Muslim seluruh dunia. Saudi juga terkesan banyak memberikan bantuan kepada kelompok-kelompok Islam maupun negeri-negeri Islam untuk mencitrakan mereka sebagai ‘pelayan umat’ dan penjaga dua masjid suci (Khadim al-Haramain).

Akan tetapi, citra seperti itu semakin pudar mengingat sepak terjang keluarga Kerajaan selama ini, terutama persahabatannya dengan AS yang mengorbankan kaum Muslim. Arab Saudi menjadi pendukung penuh AS baik secara politis maupun ekonomi dalam Perang Teluk II. Saudi juga mendukung serangan AS ke Afganistan dan berada di sisi Amerika untuk memerangi teroris. Untuk membuktikan kesetiaannya itu, Saudi, pada 17 Juni 2002 mengumumkan bahwa aparat keamanannya telah menahan enam orang warga negaranya dan seorang warga Sudan yang didakwa menjadi anggota Al-Qaeda. Tujuh orang itu didakwa berencana untuk menyerang pangkalan militer Amerika dengan rudal SAM 7. Masih dalam rangka kampanye AS ini, Saudi menghabiskan jutaan dolar untuk membuat opini umum—antara lain lewat iklan—bahwa Saudi adalah mitra AS dalam “perang antiterorisme.” (K.Com, Newsweek, 03/5/2002).

Penguasa Saudi juga dikenal kejam terhadap kelompok-kelompok Islam yang mengkritisi kekuasaannya. Banyak ulama berani dan salih yang dipenjarakan hanya kerena mengkritik keluarga Kerajaan dan pengurusannya terhadap umat. Tidak hanya itu, tingkah polah keluarga Kerajaan dengan gaya hidup kapitalisme sangat menyakitkan hati umat. Mereka hidup bermewah-mewah, sementara pada saat yang sama mereka membiarkan rakyat Irak dan Palestina hidup menderita akibat tindakan AS yang terus-menerus dijadikan Saudi sebagai mitra dekat.

Benarkah Saudi merupakan negara Islam? Jawabannya, “Tidak sama sekali!” Apa yang dilakukan oleh negara ini justru banyak yang menyimpang dari syariat Islam. Beberapa bukti antara lain:

Berkaitan dengan sistem pemerintahan, dalam pasal 5a Konstitusi Saudi ditulis: Pemerintah yang berkuasa di Kerajaan Saudi adalah Kerajaan. Dalam Sistem Kerajaan berarti kedaulatan mutlak ada di tangan raja. Rajalah yang berhak membuat hukum. Meskipun Saudi menyatakan bahwa negaranya berdasarkan pada al-Quran dan Sunnah, dalam praktiknya, dekrit rajalah yang paling berkuasa dalam hukum. Sementara itu, dalam Islam, bentuk negara adalah Khilafah Islamiyah, dengan kedaulatan ada di tangan Allah SWT.

Dalam sistem kerajaan, rajalah yang juga menentukan siapa penggantinya; biasanya adalah anaknya atau dari keluarga dekat, sebagaimana tercantum dalam pasal 5c: Raja memilih penggantinya dan diberhentikan lewat dekrit kerajaan. Siapa pun mengetahui, siapa yang menjadi raja di Saudi haruslah orang yang sejalan dengan kebijakan AS. Sementara itu, dalam Islam, Khalifah dipilih oleh rakyat secara sukarela dan penuh keridhaan.

Dalam bidang ekonomi, dalam praktiknya, Arab Saudi menerapkan sistem ekonomi kapitalis. Ini tampak nyata dari dibolehkannya riba (bunga) dalam transaksi nasional maupun internasional di negara itu. Hal ini tampak dari beroperasinya banyak bank ‘ribawi’ di Saudi seperti The British-Saudi Bank, American-Saudi Bank, dan Arab-National Bank. Hal ini dibenarkan berdasarkan bagian b pasal 1 undang-undang Saudi yang dikeluarkan oleh Raja (no M/5 1386 H).

Saudi juga menjadi penyumbang ‘saham’ IMF, organisasi internasional bentuk AS yang menjadi ‘lintah darat’ yang menjerat Dunia Islam dengan riba. Saudi adalah penanam saham no. 6 yang terbesar dalam organisasi itu. Ada bukti lain yang menunjukkan bahwa ekonomi Saudi adalah ekonomi kapitalis, yakni bahwa Saudi menjadikan tambang minyak sebagai milik individu (keluarga Kerajaan dan perusahaan asing), padahal minyak adalah milik umum (milkiyah ‘amah) yang tidak boleh diberikan kepada individu.

Kerajaan Saudi juga dibangun atas dasar rasialisme dan nasionalisme. Hal ini tampak dari pasal 1 Konstitusi Saudi yang tertulis: Kerajaan Saudi adalah Negara Islam Arab yang berdaulat (a sovereign Arab Islamic State). Sementara itu, dalam Islam, Khilafah adalah negara Islam bagi seluruh kaum Muslim di dunia, tidak hanya khusus orang Arab. Tidak mengherankan kalau di Saudi seorang Muslim yang bukan Saudi baru bisa memiliki bisnis atau tanah di Saudi kalau memiliki partner warga Saudi. Atas dasar kepentingan nasional, Raja Fahd pada 1997 mengusir ratusan ribu Muslim di luar Saudi (sebagian besar dari India, Pakistan, Mesir, dan Indonesia) dari Arab Saudi karena mereka dicap sebagai pekerja ilegal. Bahkan, untuk beribadah haji saja mereka harus memiliki paspor dan visa. Sementara itu, dalam Islam, setiap Muslim boleh bekerja dan berpergian di wilayah manapun dari Daulah Khilafah Islamiyah dengan bebas. Pada saat yang sama, Saudi mengundang ratusan non-Muslim dari Eropa dan tentara Amerika untuk bekerja di Saudi dan menempati pangkalan militer di negara itu. Tidak hanya itu, demi alasan keamanan keluarga Kerajaan, berdasarkan data statistik kementerian pertahanan AS, negara-negara Teluk (termasuk Saudi) sejak tahun 1990-November 1995 telah menghabiskan lebih dari 72 miliar dolar dalam kontrak kerjasama militer dengan AS. Saat ini, lebih dari 5000 personel militer AS tinggal di Saudi.

Apa yang terjadi di Saudi saat ini hanyalah salah satu contoh di antara sekian banyak contoh para penguasa Muslim yang melakukan pengkhianatan kepada umat. Tidak jarang, para penguasa pengkhianat umat ini menamakan rezim mereka dengan sebutan negara Islam atau negara yang berdasarkan al-Quran dan Sunnah; meskipun pada praktiknya jauh dari Islam. Karenanya, umat Islam wajib menyadari kewajiban menegakkan Daulah Khilafah Islamiyah yang sahih, bukan semu. Daulah Khilafah Islamiyah inilah yang akan menerapkan hukum-hukum Islam secara menyeluruh, yang pada giliran akan menyelesaikan berbagai persoalan umat ini. Tentu saja, hal ini harus dibarengi dengan melengserkan para penguasa pengkhianat di tengah kaum Muslim. Inilah kewajiban kita semua saat ini. [Farid Wajdi]

*NB : bukan sekedar diskusi dan berdebat, tapi mencari kebenaran dari sebuah fakta
Dari kiri, Raja Abdullah (Saudi), Menlu Arab Saudi, Saud Al-faisal, Raja Abdullah (Jordan), George Bush